RIWAYAT DESA BANJAR
Desa
Banjar tergolong Desa Tua, tetapi tidak tergolong Desa Bali Aga.
Wilayah Desa Banjar membujur dari tepi laut sampai dengan dataran
tinggi (dari utara ke selatan). Denghan demikian Desa Banjar seperti
terbagi dua wilayah yaitu sebagian ada di dataran rendah dan sebagian
lagi berada di dataran tinggi, jadi keberadaannya dekat dengan laut dan
pegunungan.
Walaupun
Desa Banjar ini termasuk Desa tua tidak ada prasasti, ataupun
petunjuk-petunjuk kapan Desa ini mulai dibangun atau didirikan. Hanya
ada satu petunjuk (yang belum tentu begitu adanya) tetapi sudah
dianggap benar , yang tertera dalam babad “Taru Pinghe” yang dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Dahulu
kala, pada saat Kerajaan Sweca Pura-Gelgel, Klungkung, di perintah oleh
“Ida Dalem” beliau mengangkat “Danghyang Wiraga Sandhi” sebagai
Purorita (penasehat spiritual). Danghyang Wiraga Sandhi adalah seorang
Pandita yang sangat menguasai ajaran Agama Hindu, sehingga Kerajaan
Sweca Pura mengalami jaman keemasan, tentram, damai, dan sejahtera.
Begitulah Kerajaan Swecapura menjadi agung, berkat kepemimpinan yang
bisa menselaraskan kepentingan lahir dan batin. Karena sudah lama beliau
(Danghyang Wiraga Sandhi tinggal di puri Gelgel)(swecapura), lalu
Beliau bermaksud pulang kembali ke Jawa (karena Beliau adalah seorang
Brahmana asal Jawa). Maka atas seijin sang Raja, berangkatlah Beliau
dengan berjalan kaki diiringkan oleh ke 5 Putra Beliau yang sudah
menjadi Pandita yang bernama :
a. Ida Pedanda Sakti Bukian
b. Ida Pedanda Sakti Ngurah Pemade
c. Ida Pedanda Sakti Kemenuh
d. Ida Pedanda Sakti Bukit
e. Ida Pedanda Sakti Katandan
Dari
Klungkung Beliau Berjalan kearah Barat laut di satu Desa yang bernama
Desa “Taru Pinghe” (Desa Kayu Putih Sekarang), dalam wilayah kekuasaan
Raja Ki Barak Panji – Daerah Buleleng, Beliau dihadang oleh Warga Pasek
Gobleg, diharapkan agar Beliau mengurungkan niatnya pulang ke Jawa, dan
dimohon agar rela tinggal di Taru Pinge sebagai Pandita, menuntun
penduduk dalam mengaplikasikan ajaran agama serta sebagai pemimpin
segala bentuk upacara keagamaan. Akhirnya beliau berkenan tinggal disana
setelah mendapat restu dari Ki Barak Panji Sakti, sebagai penguasa
Daerah Buleleng. Lalu Danghyang Wiraga Sandhi di buatkan Pasraman di
Samong (Taru Pinge), dan diberi kekuasaan sebagai Pandita oleh Ki Barak
Panji Sakti dengan batas dari Kalibukbuk sampai dengan Gilimanuk.
Demikianlah Beliau dengan kepandaian dan kearifan Beliau dapat
menciptakan kondisi yang mantap dalam beragama dan bernegara
Entah
sudah berapa lama Beliau tinggal di Kayu Putih suatu saat anak Beliau
yang nomor 2 yang bernama “Ida Pedanda Sakti Ngurah Pemada”, pergi
bercengkrama di iringkan oleh murid-murid beliau kea rah utara dari Taru
Pinge. Sampai di satu dataran tinggi, beliau merasa tercengang, tatkala
melihat kebawah dataran itu ada satu tempat yang penuh ditumbuhi
alang-alang sampai ketepi laut. Yang lebih aneh lagi di tengah
alang-alang itu asap tipis mengepul tak putus-putusnya. Sehingga dari
kekaguman beliau, timbul hasrat untuk mendatangi tempat iti. Beliaupun
bersama pengiringnya langsung berjalan ke tempat itu. Sesampai disana,
di ketemukan asap itu mengepul keluar dari dalam tanah dan dijaga oleh
dua (2) ekor srigala (anjing) yang berbulu hitam dan putih. Melalui
perantara kekuatan bhatin Beliau, maka kedua srigala penjaga asap tempat
itu rela pergi, seolah-olah mengijinkan beliau mendekati tempat itu.
Lagi-lagi
tumbuh keheranan Beliau, karena ketidak tahuan nama tempat itu, maka
Beliau berkeinginan memberikan nama. Setelah Beliau merenung dan
mengingat situasi tempat itu, akhirnya di berikanlah nama “Janggala
Kusa” (Janggala = tempat, Kusa = alang-alang). Dalam bahasa Bali di
sebut Banjar Ambengan. Setelah mendapat ijin dari ayah Beliau (Danghyang
Wiraga Sandhi) akhirnya Ida Pedanda Sakti Ngurah Pemada tinggal
/membangun Pasraman di Janggala Kusa beserta pengiring-pengiringnya
(pengikuitnya). Karena ketenaran Beliau, lama kelamaan banyaqk orang
yang datang ke Janggala Kusa minta menjadi siswa Beliau. Sermakin hari
semakin banyak orang yang datang dan langsung membabat hutan alang-alang
itu, kemudian membangun kubu-kubuan (rumah) berjajar rapi dari arah
utara ke selatan yang dalam bahasa bali disebut” Mabanjaran “. Karena
itu akhirnya nama Janggala Kusa tenggelam, berganti dengan nama “Desa
Banjar”.
Tahun
1868 Desa Banjar ini kembali mengemika setelah Belanda menguasai
Buleleng dengan politik “Tawan Karang” saat itu I Gusti Ketut Jelantik
di angkat menjadi “Regen” oleh kompeni (Belanda). Distrik Banjar yang
dipegang oleh Punggawa Ida Made Rai, sangat-sangat tidak setuju. Oleh
karena itu, Ida Made Rai selaku Punggawa Distrik Banjar berontak melawan
kekuasaan kompeni. Belanda tidak tinggal diam dengan bantuan I Gusti
Ketut Jelantik Regen Buleleng, Distrik Banjar di gempur habis-habisan.
16
September 1868 terjadi pertempuran sengit di Banjar Corot Desa Cempaga,
Serdadu Belanda dipimpin oleh Lwig Stegman dan Letnan Nijs, sedangkan
bantuan I Gusti Ketut Jelantik dipimpin oleh patih Beliau yang bernama I
Ketut Liarta. Banjar Sendiri dipimpin oleh Ida Made Rai bersama adiknya
Ida Nyoman Ngurah, keberuntungan ada di pihak Banjar. Belanda kalah,
Kapten Lwig Stegman dan Letnan Nijs gugur diikuti kurang lebih 100
serdadu Belanda
Sebelum
Belanda menyerbu Banjar Ida Made Rai sempat diangkat oleh rakyat Banjar
untuk menjadi Resi di Banjar yang didukung oleh Raja Bangli dan
Desa-desa tetangga seperti : Kalianget, Tangguwisia, Patemon, Kayu
Putih. Kalau serbuan pertama dari arah timur (dari kota Singaraja), maka
kedua kalinya Banjar diserbu dari arah Barat (dari Pengastulan) oleh
Belanda dibantu oleh L Wayat Tragi (Perbekel Pengastulan)
Pada
tanggal 3 Oktoben 1868 terjadi perlawanan yang sangat gigih pula oleh
rakyat Banjar, dari Belanda kembali dapat dipukul mundur. Dan pada saat
itulah Banjar berubah nama menjadi “sura Magada” (sura = berani, Magada =
berperang). Karena kegagalan Belanda sampai kedua kalinya inilah
akhirnya Kompeni minta bantuan kepada Gubernur jendral di Batavia. Atas
bantuan Gubernur Jendral Batavia serdadu Bali kembali menggempur Desa
Banjar di bawah pimpinan Kolonel De Braban dan Mayor Bloom. Penyerbuan
dimulai dari arah timur melalui Temukus dan Dencarik langsung ke Desa
Banjar. Satu persatu Banjar gugur dan akhirnya Desa Banjar hancur. Ida
Made Rai ditangkap di Jati Luwih Tabanan bersama 5 orang pengikutnya dan
diadili di Batavia dan menjalani hukuman seumur hidup di buang ke
Bandung dan akhirnya Beliau meninggal disana.
RIWAYAT DESA BALI AGA DI BANJAR
Berpijak
dari kerangka tersebut maka dalam memaparkan sejarah Desa Tigawasa,
kami lebih berpijak pada ceritera tetua sebagai saksi sejarah dan selain
peninggalan yang disesuaikan serta dikeramatkan . Berdasarkan
fakta-fakta sejarah tersebut barulah dapat dipaparkan sejarah Desa
Tigawasa.
Adapun
Desa Tigawasa dari kota Singaraja dengan arah ke barat yang jaraknya ±
19 km sampai di Labuan Aji ( Ramayana ). Dari Labuan Aji ( Ramayana ) ke
selatan dengan jarak ± 5 km, adapun letak Desa Tigawasa pada tanah
landai di pegunungan, yang dari permukaan laut ± 500 s/d 700 m.
Desa
Tigawasa mempunyai luas wilayah 1690 Ha dari pegunungan sampai ke
pantai ( laut ) Tukad Cebol (kini Desa Kaliasem ) kampung Bunut
Panggang, Bingin Banjah dan Kampung Labuan Aji adalah wilayah Desa
Tigawasa. Dahulu ketika masih jaman penjajahan Belanda, kampung-kampung
yang tersebut di atas itu semua diperintah oleh Perbekel Desa Tigawasa.
Karena itu orang-orang penduduk kampung yang mempunyai tanah sawah,
kebun, ladang dalam wilayah Desa Tigawasa kena tiga sana (sarining
tahun) tiap-tiap tahun yang berupa uang atau padi, yang dijadikan kas
pura, dan tiga sana padi disimpan di jineng sanghiyang (Lumbung) di Pura
Desa.
Tetapi sejak Indonesia merdeka lalu wilayah Desa Tigawasa dibagi menjadi 5 (lima) yaitu :
1.Tigawasa ;
2.Tukad Cebol (Kaliasem) ;
3.Bunut Panggang,
4.Labuan Aji,
5.Bingin Banjah,
itu
semua dibawah Distrik (Kecamatan ) Banjar Kabupaten Buleleng. Sejak itu
tidak lagi mereka dimintai tiga sana ,tetapi kalau ada saba (karya ) di
Pura Segara atau di Pura Pawulungan, mereka ada juga yang maturan punia
ke pura.
Asal-usul
Desa Tigawasa belum dapat diketahui, masih dalam penyelidikan , tetapi
yang nyata Desa Tigawasa adalah masuk Desa Purba (Bali Aga) karena
banyak mengandung kepurbakalaan. Menurut Ilmu Bahasa, nama Desa itu
terdiri dari kata majemuk yaitu tiga-wasa (wasa-bahasa kawi) artinya
Banjar atau Desa.
Jadi nyata Desa Tigawasa terjadi dari 3 (tiga) Banjar : Banjar Sanda, banjar Pangus, Banjar Kuum Mungggah (Gunung sari).
Terbukti
ada didapati benda-benda peninggalan manusia jaman purba di tiga tempat
tersebut yaitu : di Banjar Sanda (Wani) Banjar Pangus dan Gunung Sar
menurut perkiraan penduduk Desa Tigawasa, sejak jaman (Mulethicum) sudah
ada manusia diam di sana terbukti adanya terdapat beberapa kapak batu
halus di beberapa tempat di sana. Ada yang berwarna hitam kelabu dan
putih. Masyarakat Desa Tigawasa menamainya gigin kilap, dianggap batu
yang bertuah. Kalau ada padi yang kena hama penyakit lalu gigin kilap
ini di rendam dengan air, kemudian air basuhannya itu dibawah ke gaga
atau ke sawah di percikkannya pada tanaman. Berkat kepercayaan maka
penyakit padi bias hilang, karena itu batu itu disakralkan. Mungkin
sebelum itu sudah pernah ada manusia di sana yaitu pada jaman batu muda
(Misilithicum) karena ada pada suatu tempat lubang besar ( kini sudah
tertimbun) dikatakan itu adalah lubang raksasa, sampai sekarang
disekitar tempat itu disebut Songsasa (Song Raksasa) lubang raksasa.
Setelah
jaman batu muda sampailah pada jaman perunggu (Megalithicum) ini dapat
dibuktikan ada terdapat beberapa benda peninggalan jaman purbakala tiga
tempat yaitu : di Gunung sari (Kaum Munggah) di Pangus, di Wani (Suda).
Di wani didapati oleh Jawatan Purbakala peti mati ( Sarkopah) dari batu
cadas 3 (tiga) buah berisi tulang manusia, cincin, gelang perunggu,
sepiral, manik-manik, besi tombak dan periuk kecil. Dibanjar Wani juga
terdapat 12(dua belas) buah palungan batu cadas di sungai buah dapet,
pada jaman itu tempat orang-orang mencelup benang atau kain dengan getah
gintungan atau atas meja. Pada jaman itu orang sudah pandai ngantih
atau membuat benang dari kapas.
Di
Banjar Pangus terdapat 4 (empat) buah palungan dari batu cadas dan
masih berisi air yang berwarna, di sebelah barat banjar Pangus di Pura
Sanghiyang didapati selending ialah beberapa pasang gambelan dari
perunggu yang disimpan di Pura Pamulungan (Beagung) sebagai benda sakral
tempat didapati selending tersebut, dinamai sang selending juga
dibanjar Pangus yang disebut dengan nama keroncongan pernah didapati
keris dan besi kuning, juga di sebelah tenggara banjar Pangus yang
disebut Pememan ada 4 (empat) buah sendi dan tumpuka batu cadas
merupakan menhir, dan juga disana ada tanah putih di sana ada
goresan-goresan tulisan atau gambaran. Di sebelah timur hutan pememan
ialah Gunung sari, disini terdapat Lingga Yoni juga disebut taulan
Lingga Yoni ini menunjukkan symbol Predana-Purusa dalam aliran siwaisme.
Di sebelah udik munduk taulan terdapat 4 (empat) buah peti (Sarkopah)
berisi tulang atau abu manusia, sepiral, ketis, cincin, gelang,
manik-manik. Ada juga sebuah palungan tempat wadak (sapi hutan) minum
dan juga terdapat keramik terserak dan sebuah arya pandita sedang grana
sika atau memuja.
Menurut
keterangan dari pada jawatan purbakala yang mengadakan penyelidikan dan
pembongkaran sarkopah itu dikatakan benda-benda itu sedah berumur 2000
tahun lebih, didalam sarkopah itu banyak didapati logam , perunggu,
besi, emas, tembaga manic-manik dan lain yang manuk kebudayaan Dengsen
yang berasal dari Indocina (Tiongkok) tersebar di Indonesia.
Menurut
sejarah nenek moyang bangas Indonesia berasal dari pegunungan Yaman di
India belakang Tiongkok Selatan beralih sampai di Indonesia menyebar
pada kepulauan Indonesia, sekelompok sampai di pulau Bali.
Diantara
kelompok itu ada sekelompok kecil bermukim di Tigawasa, inilah yang
disebut Balikuno. Mereka diam dipegunungan terutama dekat dimata air.
Karena itu mereka disebut Bali Aga, artinya : pegunungan. Benda-benda
yang telah didapatlah jawatan purbakala yang mengadakan penyelidikan,
sampai sekarang masih disimpan di Gedung Jawatan Purbakala di Denpasar.
Demikian secara singkat dan sederhana dapat dipaparkan sejarah Desa Tigawasa.
PERBEDAAN KEBUDAYAAN DI DESA BANJAR DENGAN BALI AGA YANG ADA DI BANJAR.
perbedaannya yaitu
- dilihat dari keseharian dan kebiasaan dari masing-masing daerah. di banjar masyarakatnya cenderung melakukan kegiatan diluar daerah ataupun dikota. sedangkan daerah bali aga cenderung bekerja hanya pada ruang lingkup didaerahnya saja, hanya beberapa yang mampu bekerja di desa.
- dari segi penampilan. masyarakat di banjar, karena dekat dengan wilayah kota maka cenderung berpenampilan lebih modern dibandingkan masyarakat bali aga. karena pada daerah bali aga belum terpengaruh oleh kebudayaan luar. dan mereka masih menutup diri.
- adat istiadat dan ritual.
- upacara keagamaan/pemujaan.
- pengobatan. di daerah bali aga cenderung lebih tradisional dibandingkan masyarakat desa banjar.
- dan sebenarnya masih banyak lagi perbedaan antara masyarakat banjar dan bali aga di banjar. tetapi untuk garis besarnya hanya itu yang dapat saya jelaskan.
om swastyastu.. saya berasal dari desa banjar. terimakasih atas informasinya mengenai desa banjar dan bali aga nya.. sangat bermanfaat. terus berkarya